budi daya udang vaname


nin, 18 Juli 2011
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Udang vannamei merupakan udang asli dari Pantai Pasifik
Barat Amerika Latin, diperkenalkan di Tahiti pada awal tahun
1970 untuk penelitian potensi wilayah. Kemudian
pengembangan budidaya yang intensif di Hawaii, utara – barat
pantai Pasifik, pantai timur Atlantik (South Carolina), Teluk
Meksiko (Texas), Belize, Nikaragua, Kolombia, Venezuela, dan
Brazil di akhir tahun 1970–an dan sebelum 1980. Udang
vannamei diperkenalkan di Asia untuk tujuan penelitian pada
tahun 1978 – 1979 dan untuk kegiatan komersial pada tahun
1990–an. Perkenalan negara – negara Asia adalah sebagai
berikut : Daratan China, 1988; Taiwan, 1995; Vietnam, 2000;
Indonesia, 2001, Thailand, 1998; Malaysia, 2001; India, 2001,
Filipina, 1997; Kepulauan Pasifik, 1972 (Briggs et al. 2004).
Di Indonesia setidaknya terdapat sekitar 419.282 Ha tambak
air payau dan sekitar 913.000 Ha lahan lainya yang potensial
untuk budidaya. Tentunya hal ini dapat menjadi faktor
pendukung dan pemicu perkembangan industri budidaya
udang yang selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan
baik di Indonesia, Asia bahkan masyarakat dunia secara
umum (Southeast Asian Fisheries Development Center
(SEAFDEC), 2005).
2.1. Biologi Udang Vannamei
2.1.1. Klasifikasi Udang Vannamei
Menurut Boone (1931), klasifikasi udang vannamei adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Malacostraca
Order : Decapoda
Superfamily : Penaeoidea
Family : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Species : Litopenaeus vannamei
2.1.2. Mofologi Udang Vannamei
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), menyatakan bahwa
tubuh udang vannamei dibentuk oleh dua cabang (biramous)
yaitu exopodite dan endopodite. Vannamei memiliki tubuh
berbuku-buku dan aktifitas berganti kulit luar atau exoskeleton
secara periodik (moulting). Bagian udang vannamei sudah
mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan untuk
keperluan sebagai berikut :
Makan, beregerak, dan membenamkan diri dalam lumpur
(burrowing).
Menopang insang karena struktur insang mirip bulu unggas.
Organ sensor, seperti pada antena dan antenula.
Kepala (Chepalotorax) udang vannamei terdiri dari antenula,
antena, mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang
vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang maxiliped dan
lima pasang kaki jalan (periopoda). Maxiliped sudah
mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk
makan. Bentuk periopoda beruas – ruas yang berujung di
bagian Dactylus. Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki 1, 2,
dan 3) dan tanpa capit kaki 4 dan 5.
Perut (abdomen) terdiri dari enam ruas. Pada bagian
abdomen terdapat lima pasang kaki renang dan sepasang
uropoda (mirip ekor) yang berbentuk kipas bersama-sama
telson.
Udang vannamei
mempunyai carapace yang transparan, sehingga warna dari
perkembangan ovarium jelas terlihat. Pada udang betina,
gonad pada awal perkembangannya berwarna keputih-
putihan, berubah menjadi coklat keemasan atau hijau
kecoklatan pada saat hari pemijahan. Setelah perkawinan,
induk betina akan mengeluarkan telur yang disebut dengan
pemijahan (spawning). Perkawinan lebih bersifat open
thelycum, yaitu setelah gonad mengalami matang telur (DKP
Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, 2009).
2.1.3. Habitat dan Tingkah Laku
Menurut Briggs dkk (2006), menyatakan bahwa udang
vannamei hidup di habitat laut tropis dimana suhu air
biasanya lebih dari 20°C sepanjang tahun. Udang vannamei
dewasa dan bertelur di laut terbuka, sedangkan pada stadia
postlarva udang vannamei akan bermigrasi ke pantai sampai
pada stadia juvenil.
Udang vannamei merupakan bagian dari organisme laut.
Beberapa udang laut menghabiskan siklus hidupnya di muara
air payau. Perkembangan Siklus hidup udang vannamei
adalah dari pembuahan telur berkembang menjadi naupli,
mysis, post larva, juvenil, dan terakhir berkembang menjadi
udang dewasa. Udang dewasa memijah secara seksual di air
laut dalam. Udang vannamei melakukan pembuahan dengan
cara memasukan sperma lebih awal ke dalam thelycum udang
betina selama memijah sampai udang jantan melakukan
moulting. Masuk ke stadia larva, dari stadia naupli sampai
pada stadia juvenil berpindah ke perairan yang lebih dangkal
dimana terdapat banyak vegetasi yang dapat berfungsi
sebagai tempat pemeliharaan. Setelah mencapai remaja,
mereka kembali ke laut lepas menjadi dewasa dan siklus
hidup berlanjut kembali (Clay dan McNavin, 2002).
2.2. Persyaratan Lokasi
Menurut BPTP Sulawesi Selatan (2008), berdasarkan
kebiasaan hidup, tingkah laku dan sifat udang itu sendiri,
maka dalam memilih lokasi tambak baik dalam rangka
membuat tambak baru maupun dalam perbaikan tambak yang
sudah ada, sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut :
• Memiliki sumber air yang cukup, baik air laut maupun air
tawar dan tersedia sepanjang tahun atau setidaknya 10 bulan
dalam setahun, tetapi bukan daerah banjir.
• Memiliki saluran air yang lancar, baik untuk pengisian waktu
pasang maupun membuang air waktu surut dan sumber air
serta lingkungan bebas dari pencemaran.
• Kadar garam air berkisar 10 – 25 ppm dan derajat keasaman
(pH) berkisar 7 – 8,5.
• Tanah dasar tambak terdiri dari lumpur berpasir dengan
ketentuan kandungan pasirnya tidak lebih dari 20%.
2.2.1. Tata Letak
Menurut Mustafa (2008), menyatakan bahwa tata letak suatu
tambak harus memenuhi tujuan antara lain : menjamin
mobilitas operasional sehari-hari, menjamin keamanan
kelancaran pasok air dan pembuangannya, dapat menekan
biaya konstruksi tanpa mengurangi fungsi teknis dari unit
tambak yang di bangun, dan mempertahankan kelestarian
lingkungan.
Daerah penyangga perlu disediakan dalam mendesain
hamparan pertambakan. Daerah penyangga berupa lahan
yang berbatasan dengan laut atau sungai yang tidak
digunakan untuk pemeliharaan udang, melainkan untuk
tempat tumbuhnya mangrove yang merupakan tanaman asli
daerah tersebut. Dengan adanya daerah perlindungan ini,
maka angin sehingga kerusakan pematang karena erosi yang
ditimbulkan oleh angin dapat berkuran. Hal ini juga berarti
mengurangi biaya pemeliharaan pematang. Disamping itu,
secara tidak langsung perairan disekitar mangrove akan subur
dan kualitas perairan lebih dijamin kualitasnya, karena adanya
kemampuan dari vegetasi mangrove untuk mengamulasi dari
bahan pencemaran.
2.2.2. Desain Petakan
Menurut Mustafa (2008), menyatakan bahwa desain petakan
tambak membutuhkan pertimbangan yang seksama agar
tambak dapat berfungsi secara efisien dan layak secara
ekonomis. Tujuan daripada desain tambak yang baik adalah
mengefektifkan pengelolaan limbah, disamping memudahkan
pengelolaan air dan pemanenan udang. Secara umum, desain
petakan tambak merupakan perencanaan bentuk tambak yang
meliputi : ukuran panjang dan lebar petakan, kedalaman,
ukuran pematang, ukuran saluran keliling serta ukuran dan
letak pintu air.
Untuk petakan berbentuk empat persegi panjang, sisi
terpanjangnya sebaiknya kurang dari 150 m, agar pemasukan
air dari satu sisi lain masih dapat menimbulkan arus yang
cukup kuat. Selain itu, sisi terpanjang petakan hendaknya
tegak lurus terhadap arah angin. Hal ini dimaksudkan agar
angin yang bertiup tersebut tidak menimbulkan gelombang air
yang terlalu kuat. Bila sisi terpanjang petakan menjadi cukup
kuat yang dapat merusak pematang.
Luas petakan tambak yang ideal tergantung tingkat teknologi
yang diterapkan. Semakin kecil ukuran tambak semakin
mudah dalam pengelolaannya, tetapi akan lebih mahal dalam
konstruksi maupun operasional.
2.2.3. Desain Pematang
Dalam mendesain pematang yang pertama kali diperhatikan
adalah pematang harus mampu menampung ketinggian air
maksimum yang diperlukan. Jadi tinggi pematang harus
didasarkan pada pasang tertinggi air laut yang pernah ada.
Selain itu kondisi pematang tidak boleh bocor. Hal lain yang
perlu diperhatikan adalah pematang harus mampu melindungi
areal yang dibatasinya dari tekanan air dalam segala kodisi.
Berarti, pematang harus cukup kuat, tidak mudah jebol karena
tekanan air dan tidak mudah tererosi. Perlu dipertimbangkan,
kemungkinan digunakan sebagai jalan yang dapat dilalui
kendaraan roda empat. Namun perlu diingat bahwa,
infrastruktur dan jalan masuk kearah tambak tidak boleh
apabila dapat mengubah aliran air alami yang dapat
menyebabkan terkurungnya air sehingga dapat mengakibatkan
banjir. Bagian-bagian pematang adalah puncak pematang,
dasar pematang, berm dinding atau lereng pematang, inti
pematang, garis tengah atau sumbu pematang (Mustafa.
2008).
2.2.4. Desain Saluran
Menurut Mustafa (2008), bahwa saluran tambak pada
umumnya termasuk tipe terbuka dengan penampang berbentuk
trapesium terbalik dan airnya mengalir secara gravitasi.
Namun ada kalanya berupa saluran tipe tertutup seperti yang
banyak dipakai pada tambak intensif. Tipe tertutup biasanya
dipakai untuk menyalurkan air yang dipompa dari laut. Karena
menggunakan pompa, maka debit air yang diperoleh
tergantung pada kapasitas pompa yang digunakan. Pada
umumnya cara seperti ini diterapkan bila sumber air yang ada
disekitar tambak sangat kotor, sehingga terpaksa harus
mengambil air dari tengah laut yang kondisi airnya masih
bersih.
Desain saluran meliputi penentuan kemiringan saluran, lebar
dasar saluraan, dan kemiringan dinding saluran. Disamping
itu perlu pula dipertimbangkan kegunaan lain, misalnya untuk
penampungan sementara udang yang akan ditebar ke petakan
lain. Bila diperuntukan tujuan ini, maka dasar saluran perlu
diperdalam sekitar 0,3 m lebih rendah dari dasar tambak.
2.2.5. Konstruksi Tambak
Konstruksi tambak harus didahului dengan kegiatan
penyusunan rencana kerja yang matang agar dicapai efisiensi
dan penggunaan dana serta daya sehingga memperoleh hasil
yang maksimum. Didalam rencana kerja harus tahapan
pekerjaan yang akan dilaksanakan, pengaturan pekerjaan,
kebutuhan tenaga kerja, waktu yang diperlukan, jenis serta
jumlah alat yang diperlukan.
Menurut Galeriukm (2009), bahwa Konstruksi tambak udang
diupayakan mampu menahan air, mampu membuang air
limbah, mampu memelihara kualitas air, dan tambak dapat
dikeringkan dengan mudah dan sempurna. Tanah dasar
tambak harus dalam kondisi yang sesuai untuk kehidupan dan
pertumbuhan udang. Hal ini karena sebagian besar waktu
hidup dan mencari makan udang berada di tanah dasar
tambak.
2.3. Persiapan lahan
Menurut Kongkeo (1997), menyatakan bahwa persiapan lahan
adalah operasi paling penting dalam budidaya udang intensif.
Persiapan ini dapat menghilangkan gas beracun, seperti
amonia, hidrogen, sulfide, dan metana, serta pathogen didasar
yang telah terakumulasi dari budidaya sebelumnya. Kegiatan
yang termasuk persiapan lahan adalah pengeringan,
pemupukan, pengapuran, pengendalian hama, pemasangan
kincir, pengisian air.
2.3.1. Pengeringan
Semua tingkat teknologi budidaya tambak menghendaki
pengeringan dasar yang sempurna, yang dapat dilakukan pada
periode musim kemarau. Pengeringan ini dimaksudkan untuk
mengurangi senyawa – senyawa asam sulfide dan senyawa
beracun yang terjadi selama tambak terendam air,
memungkinkan terjadinya pertukaran udara dalam tambak
sehingga proses mineralisasi bahan organik dapat
berlangsung, serta untuk membasmi hama penyakit dan benih
– benih ikan liar yang bersifat predator ataupun competitor
(BPTP Sulawesi Selatan, 2008).
2.3.2. Pengendalian Hama dan Penyakit
Faktor lain yang menentukan keberhasilan budidaya udang di
tambak adalah keberhasilan dalam usaha pengendalian/
pemberantasan hama didalam tambak.
Dalam pemberantasan hama, pestisida anorganik yang
digunakan adalah saponin dengan dosis 20 mg/L. keuntungan
jenis racun ini karena dapat menjadi pupuk setelah daya
racunnya hilang (ampasnya). Oleh karena itu, pengendalian
hama ditambak sebaiknya dilakukan dengan mempergunakan
cara mekanis dan pestisida organik (pestisida nabati). Apabila
dengan mempergunakan cara tersebut belum memberikan
hasil yang diharapkan, maka sebagai langkah terakhir barulah
mempergunakan pestisida anorganik yang memiliki residu
sangat rendah (Ratnawati, 2008).
Saponin adalah glikosida, yaitu metabolit sekunder yang
banyak terdapat dialam, terdiri dari gugus gula yang berikatan
dengan aglikon atau sapogenin.Senyawa ini bersifat racun
bagi binatang berdarah dingin. Oleh karena itu dapat
digunakan untuk pembasmi hama tertentu bagi budidaya
udang (Prihatman, 2001).
FAO (2006), menyatakan bahwa ketersediaan induk SPF dan
SPR menyediakan cara untuk menghindari penyakit, meskipun
prosedur biosekuriti juga penting, termasuk :
• Pengeringan dari dasar kolam antara siklus.
• Mengurangi pertukaran air dan penyaringan halus dari air
yang masuk.
• Penggunaan jaring burung.
• Membuat pagar di sekitar kolam.
Setelah virus memasuki kolam, tidak ada bahan kimia atau
obat yang tersedia untuk mengobati infeksi, tetapi pengelolaan
air, pengelolaan pakan yang baik dan pengelolaan kesehatan
yang baik dapat mengurangi infeksi virus tersebut. Selain itu
pencegahan dapat dilakukan dengan Persiapan air yang baik,
air yang masuk keseluruh sistem akan diberi kaporit 30 ppm
dan diendapkan selama 3 hari untuk menghilangkan carrier
dan partikel virus yang terbawa air (Adiwidjaya dan Erik,
2011).
2.3.3. Pengapuran
Menurut William (2009), menyatakan bahwa keasaman tanah
kolam dapat dinetralkan dan produktivitas kolam dapat
diperbaiki dengan pengapuran. Pengapuran mengacu pada
aplikasi senyawa penetral asam berbagai kalsium dan
magnesium. Pengapuran kolam memiliki tiga manfaat penting,
Pengapuran dapat meningkatkan efek pemupukan,
Pengapuran membantu mencegah perubahan pH, Pengapuran
juga menambahkan kalsium dan magnesium, yang penting
dalam fisiologi hewan.
a. Pengaruh pengapuran terhadap pemupukan
Pupuk yang mengandung nitrogen, fosfor dan kalium
(terutama fosfor) merangsang pertumbuhan tanaman
mikroskopis (fitoplankton) dan hewan (zooplankton), yang
pada gilirannya, menjadi makanan bagi hewan pada rantai
makanan. Dalam kolam yang digunakan untuk produksi
komersial ikan remaja, plankton adalah sumber makanan
utama. fitoplankton juga menyerap nitrogen limbah beracun
dan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut siang hari,
sehingga mereka yang penting terhadap kualitas air.
Pengapuran untuk meningkatkan respon terhadap pemupukan.
Pada tambak yang dibangun pada dasar yang asam dan diisi
dengan air segar yang memiliki kandungan mineral rendah,
sehingga diperlukan fosfor tambahan untuk digunakan pupuk
menjadi terikat erat di sedimen tambak dimana tambak
tersebut tidak tersedia cukup fosfor untuk mendukung
pertumbuhan fitoplankton. pengapuran yang tepat dapat
meningkatkan ketersediaan fosfor dan meningkatkan
produktivitas tambak.
b. Fluktuasi pH adalah hasil dari interaksi fotosintesis dan
respirasi. Malam hari respirasi meningkatkan konsentrasi
CO2, menciptakan asam karbonat dan menyebabkan pH
turun. Pada siang hari fitoplankton menyerap CO2 untuk
fotosintesis, menyebabkan pH naik. Perubahan pH sehari-hari
dapat mengakibatkan stres pada hewan air. Sehingga
pengapuran digunakan untuk meningkatkan alkalinitas total,
dan diperlukan untuk kestabilan penyangga perairan dan
mengurangi fluktuasi pada pH harian.
Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya (2010), menyatakan bahwa jika pH tanah
kurang dari 6,5, maka perlu dilakukan pengapuran dengan
dosis seperti pada Tabel 1, kemudian dilanjutkan dengan
pemasukan air.
Tabel 1. Dosis kapur berdasarkan pH tanah
pH Tanah CaCO3 (Kg/Ha) Ca(OH)2 (Kg/Ha)
> 6 < 100 < 500 6 – 5 < 2000 5 < 3000 2,5 3,2 mm
Sumber: Van Wyk, 2006.
2.5.2. Dosis Pakan
Menurut Muhariyanto (2001), menyatakan bahwa takaran
pakan yang diberikan kepada udang relatif akan berkurang
sejalan dengan bertambah besarnya ukuran udang. Selama
bulan pertama takaran awal yang diberikan ditetepkan
sebanyak 1 kg per 100.000 ekor benur (PL 12 – 15) yang
kemudian ditambah 200 – 300 gr tiap minggunya sesuai
dengan perkiraan udang yang hidup (sintasan). Takaran awal
pakan yang diberikan adalah 6,8 % dari berat badan/hari dan
akan diturunkan secara bertahap sehingga pada saat udang
ukuran panen (30 gr), jumlah pakan yang diberikan adalah
antara 2,5 – 3 % dari berat badan/hari.
2.5.3. Cara Pemberian
Menurut Ghufran (2010), bahwa syarat terpenuhinya
pemberian pakan yang baik adalah merata, yaitu diusahakan
agar satu individu udang memperoleh bagian yang sama
dengan individu yang lainya, sehingga diharapkan
pertumbuhan udang budidaya akan seragam. Untuk itu
pemberian pakan harus disesuaikan dengan sifat biologis
udang. Cara pemberian pakan yang merata dapat menghindari
terjadinya kompetisi dalam mendapatkan makanan. Apabila
kompetisi dapat dihindari, maka sifat kanibalisme akan
semakin dapat dikendalikan. Keadaan kompetitif akan
semakin tajam dan mencolok apabila ukuran udang sangat
bervariasi.
2.5.4. Frekuensi Pemberian
Umumnya frekuensi pemberian pakan udang dalam sistem
budidaya sistem semi intensif dan intensif mencapai 4 – 6 kali
sehari. Semakin sering pemberian pakan akan memberi
peluang yang lebih besar kepada udang untuk makan setiap
saat, sehingga kebutuhan pakan akan selalu terpenuhi.
Frekuensi pemberian pakan yang lebih sering dengan jumlah
pakan perharinya tetap, maka tiap kali pakan yang diberikan
menjadi sedikit. Dengan cara ini pakan tidak tertumpuk pada
suatu waktu saja tetapi merata sepanjang hari. Selain itu cara
ini sangat menguntungkan karena dasar tambak akan
terhindar dari proses pengotoran akibat pembusukan sisa
pakan (Ghufran, 2010).
2.6. Pengelolaan Kualitas Air
Amri dan Iskandar (2008), menyatakan bahwa sebagai
organisme hidup dan berkembang di dalam air, kelangsungan
hidup udang vanname dari saat ditebar sampai dipanen
sangat dipengaruhi oleh kualitas air tempat udang tersebut
dibudidayakan. Itu sebabnya, untuk menghindari kegagalan
dalam budidaya udang vanname, pengelolaan kualitas air
secara baik dan benar menjadi prioritas utama.
Menurut Baliao dan Siri (2002), bahwa air yang akan ditebari
udang harus mempunyai kualitas sifat fisika dan kimia
sebagai berikut :
 Oksigen terlarut : > 4 ppm
 Ammonia : 80 ppm
 Kecerahan : 35 – 45 cm
 Warna air : hijau kecoklatan
2.6.1. Pergantian Air
Pergantian air dilakukan bila telah terjadi penurunan
parameter kualitas air tambak. Secara visual dapat dilihat dari
perubahan warna air menjadi jernih dan terdapat suspensi
dalam air akibat kematian plankton. Perubahan ini juga
ditandai banyaknya buih relatif besar (lebih dari 2 cm) dan
tidak pecah pada jarak 6 m dari kincir. Sedangkan indikasi
kimiawi terlihat dari kandungan bahan organik yang tinggi
(lebih dari 60 ppm) dan BOD yang lebih dari 10 ppm. Tanda-
tanda penurunan kualitas air terlihat dari :
a. Nafsu makan menurun (sisa pakan di anco > 20 % dari
normal).
b. Populasi total bakteri > 106 CFU/ ml.
c. Populasi Total Vibrio > 103 CFU/ ml.
d. Ekor udang banyak yang berwarna merah (red
discoloration).
e. Banyak partikel plankton mati di kolom air.
Proses pergantian air dilakukan dengan cermat sehingga tidak
terjadi perubahan kualitas air secara mendadak atau dratis
terutama perubahan salinitas. Hal ini untuk mengurangi stress
pada udang. Perubahan salinitas air tambak akibat pergantian
air tidak boleh melebihi 3 ppt per hari. Untuk menghindari
perubahan salinitas yang drastis pada saat terjadi hujan
dengan cara menghidupkan kincir yang digunakan sebagai
pengaduk (BBPBAP Jepara. 2007).
2.6.2. Aplikasi Probiotik
Probiotik sebagai agen pengurai (bioremediation) merupakan
kelompok mikroorganisme terpilih yang menguntungkan
seperti Nitrosomonas, Cellumonas, Bacillus subtilis dan
Nitrobacter. Dalam aplikasinya di dunia perikanan, probiotik
sebagai agen pengurai dapat digunakan baik secara langsung
dengan ditebarkan ke air atau melalui perantaraan makanan
hidup (live food). Jadi melalui penambahan bakteri yang
menguntungkan ke kolam atau bak pemeliharaan kualitas air
dapat ditingkatkan. Menggunakan probiotik yang mengandung
Bacillus sp. untuk tambak udang penaeid di Indonesia dengan
tujuan untuk memperbaiki kualitas air melalui dekomposisi
materi organik, menyeimbangkan komunitas mikroba serta
menekan pertumbuhan patogen sehingga menyediakan
lingkungan yang lebih baik bagi kehidupan udang. Melalui
penggunaan probiotik selama 160 hari pemeliharaan ternyata
kehidupan udang lebih baik sehingga dapat diperoleh panen
lebih tinggi, sedangkan tambak yang tanpa aplikasi probiotik
Bacillus sp. mengalami kegagalan karena serangan Vibrio
luminesence. Di samping mikroorganisme dari golongan
bakteri, ternyata beberapa jenis mikroorganisme dari golongan
yeast dan mikro algae juga dapat digunakan sebagai bahan
probiotik dalam akuakultur (Wannasuria, 2010).
Menurut Amri dan Iskandar (2008), bahwa aplikasi probiotik
dapat dilakukan melalui oral (dicampur pakan) dan lingkungan
(air dan dasar tambak). Aplikasi probiotik melalui lingkungan
bertujuan untuk memperbaiki kondisi lingkungan (menguraikan
bahan organik, menyerap/menetralkan senyawa beracun
seperti ammonia, nitrit, dan asam sulfida), menstabilkan
plankton (menghasilkan senyawa anorganik yang diperlukan
plankton) dan menekan bakteri yang merugikan.
Menurut Wannasuria (2010), bahwa peranan probiotik dalam
budidaya akuakultur adalah :
1. Menekan populasi mikroba yang bersifat merugikan yang
berada dalam saluran pencernaan dengan cara berkompetisi
untuk menempati ruang (tempat menempel) dan kesempatan
mendapatkan nutrisi,
2. Menghasilkan senyawa anti mikroba yang secara langsung
akan menekan pertumbuhan mikroba pathogen dan mencegah
terbentuknya kolonisasi mikroba merugikan dalam sistem
pencernaan hewan inang.
3. Menghasilkan senyawa yang bersifat imunostimulan yaitu
meningkatkan sistem imun ikan (hewan inang) dalam
menghadapi serangan penyakit dengan cara meningkatkan
kadar antibodi dan aktivitas makrofag, misalnya lipo
polisakarida, glikan dan peptidoglikan. Mikroorganisme
probiotik asam laktat yang diberikan secara oral pada hewan
berdarah panas dapat memicu peningkatan resistensi
terhadap infeksi enterik. Tetapi sampai saat ini masih belum
jelas apakah bakteri yang digunakan sebagai probiotik dapat
memberikan efek menguntungkan terhadap respon imun bagi
hewan inang.
4. Menghasilkan senyawa vitamin yang bermanfaat bagi
hewan inang (yang diberikan probiotik) dan secara tidak
langsung akan menaikkan nilai nutrisi pakan.
2.7. Monitoring Pertumbuhan
Kegiatan monitoring pertumbuhan udang vannamei selama
masa pemeliharaan dilakukan untuk mengetahui kesehatan
udang, pertambahan berat harian (ADG), tingkat kelangsungan
hidup atau survival Rate (SR), dan berat biomass.
Pengamatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan
metode anco. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
(2010), bahwa pengamatan di anco dilakukan untuk melihat
populasi dan kesehatan setiap saat, Ciri-ciri udang sehat
adalah :
• Gerakan aktif, berenang normal dan melompat bila anco di
angkat
• Respon positif terhadap arus, cahaya, bayangan dan
sentuhan
• Tubuh bersih, licin, berwarna cerah, belang putih yang jelas
• Tubuh tidak keropos, anggota tubuh lengkap
• Kotoran tidak mengapung
• Ujung ekor tidak geripis
• Ekor dan kaki jalan tidak menguncup
• Insang jernih atau putih serta bersih
• Kondisi usus penuh, tidak terputus-putus Pencegahan
Penyakit
Menurut BBPBAP Jepara (2011), bahwa sampling
pertumbuhan dimaksudkan untuk memperoleh data tentang
kondisi kesehatan udang, populasi, berat individu (gr), rerata
pertumbuhan harian (gr), estimasi total biomass (kg),
mengetahui variasi ukuran dan selanjutnya dapat digunakan
sebagai acuan perhitungan jumlah pakan/hari. Masing-
masing dapat dihitung dengan rumus seperti berikut :
a. Mean Body Weight (MBW)
MBW = Berat udang + wadah – berat wadah
Jumlah Udang
b. Average Daily Growth (ADG)
ADG = MBWn – MBWo
t
c. Survival Rate (Sintasan)
Biomasa (kg) = Jumlah Tebar x SR x MBW
100
Populasi (ekor) = Biomasa x 1000
MBW
Sintasan (%) = Populasi x 100
Jumlah Tebar
2.8. Pengendalian Hama dan Penyakit
Menurut FAO (2006), bahwa beberapa macam hama yang
mengganggu tambak udang, baik yang merupakan hama
langsung maupun hama yang tidak langsung adalah :
1. Hama pengganggu
Kepiting, udang penggali (Thalassina), kerang-kerangan,
jamur.
2. Hama penyaing
Bekicot, ikan, kepiting, udang.
3. Hama predator
Ikan, kepiting, burung, manusia, serangga, ular, berang-
berang, kadal.
Jenis penyakit yang dapat menyerang pada udang, yaitu
penyakit viral (penyakit yang disebabkan oleh virus) dan
bakterial (penyakit yang disebabkan oleh bakteri) (BBPBAP,
2008).
1. Penyakit Viral, pada dekade terakhir penyakit viral telah
mengakibatkan kerugian yang cukup besar di kalangan
pengusaha. Penyebaran penyakit terjadi secara cepat dan
melanda satu kawasan dalam waktu sangat singkat. Ada
sekitar 5 jenis penyakit viral yang telah dideteksi yaitu IHHNV
(Infectious Hypodermal and Hematopoitic Necrosis Virus),
HPV (Hepatopancreatic Parvolike Virus), MBV (Monodon
Baculavirus), SEMBV (Systemic Ectodermal and Mesodermal
Baculovirus), YHV (Yellow Head Virus). Tidak ada jenis
antibiotik dan kemoterapi lain yang dapat digunakan untuk
pengobatan penyakit viral. Pencegahan lebih efektif untuk
pengendalian penyakit viral.
2. Penyakit Bakterial, beberapa jenis penyakit bakterial yang
dijumpai menyerang udang di diantaranya adalah penyakit
insang hitam, penyakit ekor geripis, kaki putus, bercak hitam,
kulit dan otot hitam (black splincter disease). Bakteri Vibrio
Sp. Seperti Vibrio Alginolyticus, V. Parahaemolyticus, dan V.
Anguillanum merupakan bakteri yang erat kaitannya dengan
penyakit tersebut. Peningkatan virulensi patogen diperkuat
dengan jeleknya manajemen kualitas air, yang tidak jarang
menimbulkan kematian udang.
Pencegahan adalah perlakuan yang baik dari pada melakukan
pengendalian penyakit yang sudah menyerang udang. Adapun
pencegahan yang dilakukan pada budidaya udang yaitu :
1. Pengelolaan awal media pembesaran udang Vannamei
dengan baik dan terkontrol.
2. Menerapkan Biosecurity pada tambak.
3. Pemberian material agar kualitas media tetap terjaga.
2.9. Panen dan Pasca Panen
Menurut Amri dan Iskandar (2008), bahwa pemanenan
dilaksanakan setelah udang mencapai umur lebih kurang 100
hari pemeliharaan ditambak, atau tergantung laju
pertumbuhan udang. Apabila berat rata-rata (ABW) telah
mencapai umur standart permintaan pasar (ukuran 60 – 80
atau 60 – 80 ekor/kg) maka panen dapat dilaksanakan
walaupun masa pemeliharaan belum mencapai 100 hari.
Berikut ini adalah beberapa alasan udang vannamei harus
dipanen :
1. Udang sudah saatnya dipanen sehingga bila tetap
dipertahankan, pertumbuhan udang tidak optimal lagi, bahkan
tidak tumbuh lagi.
2. Udang terserang penyakit dan telah menunjukkan gejala
kematian, jika terpaksa dipanen untuk menghindari kerugian
yang lebih besar.
3. Kondisi darurat yang mengharuskan udang dipanen.
Proses pemanenan dilaksanakan pada kondisi suhu rendah,
atau dimulai dari malam sampai dini/pagi hari, untuk
mencegah hal – hal yang tidak diinginkan, seperti buruknya
kualitas udang akibat panas matahari langsung pada suhu
tinggi (28 OC – 32,2 OC) kesegaran udang cepat menurun.
Namun, jika penanganan dilakukan dengan benar, kesegaran
udang dapat bertahan sampai lebih kurang 1 minggu. Oleh
karena itu, penanganan udang hasil panen harus
dipertahankan pada suhu rendah (0 OC – 5 OC) dengan cara
menambahkan hancuran es (es curah) di setiap tahapan
penanganan.
Menurut BPTP Sulawesi Selatan (2008), bahwa setelah
pemanenan selesai, maka hasil panen harus ditangani
secepatnya agar kualitas dan kesegaran udang atau ikan
tetap baik hingga ke pasar atau konsumen.
Penanganan udang hasil panen harus dilakukan dengan cepat
karena kualitas udang cepat menurun setelah dipanen.
Keterlambatan dalam penanganan udang mengakibatkan
udang tidak dapat diterima dipasaran sebagai komoditas
ekspor. Cara penanganan udang adalah :
• Udang hasil panen disortir sesuai ukuran dan dipisahkan.
• Udang dibersihkan dan masukkan dalam keranjang plastik
tersebut diletakkan pada tempat yang dialiri air.
• Udang dicuci dengan air es dengan cara mencelupkan
keranjang berisi udang kedalam air es beberapa kali.
• Udang ditiriskan
• Untuk mempertahankan kesegaran udang, es batu yang
digunakan dengan perbandingan 1 kg es untuk 1 kg udang.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwidjaya D, dan Erik S. 2007. Aplikasi Pemberian Pakan
Buatan Secara Optimal pada Budidaya Udang Windu Intensif
Berkelanjutan. http://www.udang-bbbap.com/
organisasi/1154-aplikasi-frekuensi-pemberian-pakan-buatan-
secara-optimal-pada-budidaya-udang-windu-intensif-
berkelanjutan
Alex w. 2009. Penaeus vannamei. http://
http://www.sellingurchins.info/?p=165
Amri dan Iskandar. 2008. Budidaya Udang Vannamei. PT.
Garamedia Pustaka Utama. Jakarta
Aquaculture Department Southeast Asian Fisheries
Development Center (SEAFDEC). 2005. Regional Technical
Consultation on the Aquaculture of Penaeus vannamei and
Other Exotic Shrimps in Southeast Asia. http://www.seafdec.org.ph/
pdf/P_vannamei.pdf
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 2009.
Budidaya Udang Windu. http://www.udang-bbbap.com
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. 2008.
Budidaya Tambak Berwawasan Lingkungan. http://
jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?
act=tampil&id=57046&idc=23
Baliao D, dan Siri T. 2002. Manajemen Budidaya Ramah
Lingkungan di Daerah Mangrove.
http://www.asianfisheriessociety.org
Briggs, M, Simon Funge-Smith, Rohana Subasinghe, dan
Michael Phillips. 2004. Introductions and Movement of
Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and The
Pacific. FAO. Bangkok
Boone. 1931. Penaeus vannamei. http://www.fao.org/docrep/
field/003/ab467e/AB467E04.htm
Buwono, Ibnu Dwi. 1993. Tambak Udang Windu Sistem
Pengelolaan Berpola Intensif. Kanisius. Yogyakarta.
Clay, J dan Aaron A. McNevin. 2002. Farm Level Issues in
Aquaculture Certification:Shrimp.www.worldwildlife.org/…/
chap8ashrimpfarmlevelissues.pdf
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2010. Budidaya
Udang Vanname. http://202.51.119.162/index.php?
option=com_content&view=article&id=267:budidaya-udang-
vaname&catid=117:berita&Itemid=126
DKP Provinsi Sulteng. 2009. Budidaya Udang Vannamei
(Litopenaeus vannamei) Teknologi Ekstensif Plus. DKP
Provinsi Sulteng. Sulawesi Tengah
Eman. 2008. Vannamei. Universitas Kristen Petra http://
digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/eman/2005/jiunkpe-ns-
s1-2005-31401082-7936-vannamei-chapter1.pdf.
Ghufran, M. 2010. Pakan Udang: Nutrisi, Formulasi,
Pembuatan, dan Pemberian. Akademia. Jakarta.
Haliman, R.W. dan D. Adijaya S. 2005. Udang Vannamei.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Harriet Perry. 2011. Litopenaeus vannamei . 2011.
Litopenaeus vannamei. USGS Nonindigenous Aquatic Species
Database, Gainesville, FL. USGS non pribumi Spesies Akuatik
Database, Gainesville, FL.
http://nas.er.usgs.gov/queries/factsheet.aspx?
SpeciesID=1212
Kongkeo H. 1997. Perbandingan Sistem Budidaya Udang
Intensif di Indoneisa, Filipina,Taiwan dan Thailand.
http://www.asianfisheriessociety.org/modules/wfdownloads/
visit.php?cid=17
Kordi, Ghufron dan Tancung, Andi Baso. 2005. Pengelolaan
Kualitas Air Dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta
Mustafa A. 2008. Disain, Tata Letak, dan Konstruksi Tambak.

Klik untuk mengakses 22076770.pdf

Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta Timur: Ghalia
Indonesia
Prihatman K. 2001. Saponin untuk Pembasmi Hama Udang.

Klik untuk mengakses 3208166174.pdf

Ratnawati E. 2008. Budidaya Udang Windu (Panaeus
monodon) Sistem Semi Intensif pada Tambak Tanah Sulfat
Asam. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/3108610.pdf
Rostamian H. 2007. Management Strategy for controlling
disease. http:www.findep@gfpco.com
Subagyo. 1993. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek.
Jakarta.Rineka Cipta
Suparmoko. 1991. Metode Penelitian Praktis (untuk ilmu
social dan ekonomi).Yogykarta.BBFE
Suryabrata. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta.Grafindo
Persada
Taparhudee W. Dkk. 2007. Comparative Study on Paddle-
wheel Aerators Using Electric Motors and Diesel Engines in
Pacific White Shrimp (Litopenaeus vannamei) Culture Ponds.
http://www.fisheryfocus.com/wp-content/uploads/2010/11/
Comparative-Study-on-Paddle-wheel-Aerators-Using-Electric-
Motors-and-Diesel-Engines-in-Pacific-White-Shrimp-
Litopenaeus-vannamei-Culture-Ponds.pdf
Wahyudi, achmad. 2001. Suatu Pendekatan Teknis Menyiasati
Air Pekat Di Tambak “Neraca Oksigen”. Kumpulan Majalah
Mitra Bahari Edisi 1996 – 2002, edisi tahun IV nomor 2/1999.
William A. 2009. Liming Ponds for Aquaculture.
http://www.ca.uky.edu/wkrec/Wurtspage.htm
Wyk, P.V. 2006. Chapter – 7 Nutrition and Feeding
Litopenaeous vannamei in Intensive Culture System.
http://www.icecubetopper.com/pdfs/docs/fl/FL_DA_shrimp_7.pdf
Wannasuria S. 2010. Probiotik Akuakultur. http://
agritekno.com/probiotik/103-probiotik-akuakultur.html
_________.2011. Aclimatization. en.wikipedia.org
Tigor Hermawan Wibisono di 06.31
Budidaya Udang Vannamei

Pos ini dipublikasikan di psht. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar